Sudah sebulan semenjak kampus menjadi panas dengan apa yang kulakukan, karena pertemuan dengan Dekan. Tak banyak ku bicara, hanya mengeluarkan ide bodoh, yaitu pembangunan WC yang sudah bocor sana bocor sini, dan pendapat itu lumayan ada tanggapan dari Dekan, lagi-lagi permasalahannya adalah DANA. Ini yang membuat pikiranku aneh dan membuat sesuatu hal yang rancu. Seminggu sebelum bertemu dengan Dekan, ada seseorang yang berkoar-koar akan membuat Gazebo di lingkungan kampus, tidak lain yang mengatakan itu semua adalah Pembantu Dekan III, yang Hakikatnya dia adalah Pembantu Dekan yang berhubungan langsung dengan Mahasiswa. Aku tak tahu apa sebenarnya yang ada di otak mereka, Kesejahteraan orang banyak atau kesejahteraan keluarganya.
Sejenak ku berhenti membuat syair, sifat humor sedikit hilang, tulisan-tulisaan menjadi buram terkikis oleh embun pagi yang membuatnya basah. aku pernah membaca sebuah buku yang didalamnya ada kata-kata Aristoteles tentang system pemerintahan, Demokrasi pada akhirnya akan menghasilkan Tirani. Sekuat apapun ku melawan, dan semua Undang-Undang yang ku pergunakan pun tak berarti, tetap Penguasa yang menang dan semoga yang Maha Kuasa membuat mereka kalah.
Aku tertarik dengan seorang Profesor yang mengajar mata kuliah yang ku ambil, dia seorang yang pintar, punya banyak Hak Paten dalam bidang Sterilisasi pangan, jabatannya tidak tinggi, hanya sebatas dosen. Ia hanya seorang yang ilmiah bukan pemburu kekuasaan.
Aku sudah geram dengan semua itu. Aku susah untuk tertawa, tak bisa merasakan kasih dari seseorang, aku benar-benar sendiri, sekarang hanya aku dan pemikiran kristis yang dianggap konyol ini.
“Hal yang paling beruntung adalah tidak dilahirkan kedunia ini, yang kedua dilahirkan tetapi mati muda, maka berbahagialah yang mati muda” (soe, 1960)
Malam itu seorang teman yang sangat kutunggu menghubungiku dengan telepon seluler yang sekarang lazim didipakai untuk menyambung tali silahturahmi, bahagia sekali ia bercerita tentang kekasihnya, walaupun mereka sedang ada masalah. Lalu terlintas di pikiran ini, bahwa aku dulu pernah punya seorang kekasih yang hampir terlupakan.
Ku ingat ia sekilas, dan kubaca puisi dari Chairil Anwar “Tak Sepadan”.
Kukira sakit itu terasa jika kita terjatuh, dipukul oleh bapak, demam, waktu patah hati, sakit gigi. Tetapi tidak hanya itu, sakit itu juga ketika melihat seorang yang dahulu kekasih, sekarang dengan orang lain yang tak kukenal, Mengabadikan gambarnya di bingkai-bingkai berkaca hingga berdebu, mengibaratkan awetnya hubungan mereka.
Sekarang tiba pada waktunya di mana semua berlangsung pada hal yang biasa dan kisah yang biasa. Apabila semua keadaan sudah menjadi seperti biasa, ku harap Utusannya datang untuk membawaku ketempat perhentian